Kucing adalah
binatang alias hewan yang malas, tapi juga yang paling disayang. Ya kadang juga
dibenci sih sama orang. Apalagi kucing kampung Indonesia yang bulunya pendek
dan rontokan, badannya kurus cuma tulang berbalut kulit dan bulu, ada bekas
luka di mana-mana gara-gara pertengkaran sesama kucing, dan paling gesit
nyolong ikan gorengan Emak di dapur. Gue akan ngomongin kucing kampung aja
sekarang.
Meskipun
namanya kucing kampung, seperti kebanyakan orang menyebutnya, kucing ini banyak
terdapat di kota besar dan bukan kucing urban. Maksudnya, kucing ini lahir dan
besar di kota. Tapi gak tau kenapa, nama “kampung” itu masih terus melekat pada
semua kucing yang asli kota. Termasuk gue, yang juga kucing ‘kampung’ yang asli
Jakarta.
Nama gue
Cong-cong, salah seekor kucing ‘kampung’ yang beruntung karena ada yang mau
miara (baca: memelihara) gue yang emang imut dan keren ini. Tapi sekarang, gue
mau cerita tentang sodara-sodara gue yang ada di luar sana, kelaparan,
kedinginan, gak tau gimana caranya biar dipelihara sama orang.
Kebanyakan
kucing kampung ini liar, hidup di jalanan yang keras karena dibeton dan
diaspal. Mereka bertahan hidup dengan berbagai cara, ada yang bener, ada juga
yang enggak. Cara mereka cari makan: Ngorek tempat sampah; Duduk, tidur, atau
diam di depan pintu belakang sebuah rumah makan untuk nugguin makanan sisa;
Masuk ke rumah dan diem-diem ngambil ikan atau ayam atau gorengan lainnya yang
disukai kucing.
Ada juga yang
pasang tampang melas di depan rumah orang yang biasanya punya anak kecil sambil
ngeong-ngeong minta dikasih makan. Dan yang terakhir ini yang bikin repot
manusia. Kadang, keesokan harinya, mereka dateng lagi untuk minta makan lagi.
Lama-lama mereka berani masuk pager dan tidur di teras rumah. Dan akhirnya, dia
dipelihara oleh keluarga itu. Trik ini memang jitu dan temen-temen gue yang
udah melakukan cara ini jadi hidup sejahtera.
Kalo masalah
tempat tinggal, sodara gue yang liar ini gak terlalu mempermasalahkannya.
Mereka bisa tidur hampir di mana aja. Misalnya, di atas genteng atau di pinggir
jalanan bareng gepeng (baca: gelandangan dan pengemis). Dan biasanya, saat
malam, mereka masuk ke teras rumah yang ada kursinya. Mereka tidur deh di atas
kursi empuk itu. Dan pas Subuh, sebelum orang bangun, dia pergi duluan dan
meninggalkan jejak berupa rontokan bulu yang nempel di kursi. Pas paginya,
manusia pemilik rumah yang kesel cuma bisa bilang ‘Dasar kucing.’ Untungnya sih, majikan gue ngasih gue makanan yang
aman, jadi bulu gue gak rontok dan dibolehin tidur di mana aja.
Well, kehidupan
kucing liar di luar sana tuh mirip-mirip kehidupan preman-preman jalanan. Lo,
manusia, gak tau kan kalo kita, para kucing, juga punya geng dan daerah
kekuasaan masing-masing. Bahkan gue, yang adalah kucing peliharaan, juga
merupakan ketua geng di RT gue. Kalo lo suka denger kucing berantem, berarti
mereka itu lagi ada slek (baca: pertengkaran) sesama anggota geng atau geng
lain, atau ada yang nantangin pengen jadi penguasa baru, atau ada anggota baru
yang pengen gabung. Kayak waktu gue baru pindah rumah, gue harus ngadep dulu
sama yang punya daerah, panggilannya si Boss, kucing liar yang kurus. Dan
setelah beberapa hari gue kenal semua kucing di RT gue yang juga kurus-kurus,
gue tantang si Boss. Gue gak takut kalah, soalnya di daerah gue yang lama, gue
juga adalah penguasa daerah. Jadi, kalo masalah cakar-cakar dan gigit-gigit,
gue udah pengalaman. Dan kucing di daerah baru gue itu kurus semua. Diliat dari
badan aja, gue yang gemuk nan kekar ini pasti menang. Ya, jadilah gue sekarang
Boss yang baru.
Enaknya jadi
kucing kampung peliharaan itu kita masih dibolehin keluar rumah untuk nongkrong
dan gangguin kucing betina dari atas genteng. Lo bayangin aja, gak ada kan
kucing ras dari luar negri yang keliaran di tempat sampah atau ngeong-ngeong di
atas genteng malem-malem!? Hidup mereka tuh terkurung di dalem rumah, bahkan
ada yang dikandangin juga. Pasntes aja mereka semua gembul, males, dan gak jago
berantem.
Tapi ya, kalo
kucing ras itu jadi gembel di jalanan (-kayakanya ini gak mungkin-), pasti ada
aja orang yang mungut. Meskipun bulunya udah gak karuan kayak ijuk, ada aja
yang mau ngurusin. Nih ya, kalo sodara gue, kucing kampung, dilirik aja kagak.
Dijauhin malah iya. Udah takdirlah mereka itu jadi kucing kampung yang kurang
beruntung.
Gue salut sama
mereka semua! Semua kucing liar yang bisa bertahan hidup di atas kerasnya aspal
dan genteng rumah, dibawah dinginnya ujan atau teriknya matahari, dan belas
kasihan manusia! Gue agak jealous aja sama manusia-manusia pecinta hewan itu.
Mereka pergi jauh-jauh ke pelosok hutan untuk meneliti buyut gue, harimau, yang
udah mau punah. Dan kampanye ke mana-mana tentang perlindungan hewan. Tapi
bangsa gue, sebagai cicit dari cicitnya mbah buyut gue, si harimau, gak di
peratiin.
Semoga,
manusia yang baca catatan gue ini bisa tergerak hatinya untuk seenggaknya
ngasih sisa tulangnya ke kucing.
Salam semangat
dari kucing ganteng, imut, dan keren buat semua manusia dan kucing liar di
seluruh dunia.
Meong :3
Cong-cong.
*ini cuma cerita belaka. iseng-iseng.... mudah2an gak aneh...
No comments:
Post a Comment